Cryptocurrency dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi fenomena global yang membawa perubahan besar dalam sektor ekonomi. Namun, keberadaannya masih memicu perdebatan, khususnya dalam perspektif ekonomi Islam.
Hendra Setiawan, seorang peneliti dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sekaligus Keluarga Besar Forum Zakat Jawa Barat, mengeksplorasi topik ini dalam artikelnya yang berjudul “Analysis of Cryptocurrency As a New Currency with The Maqashid Syariah Approach.” Artikel ini diterbitkan di KOMITMEN: Jurnal Ilmiah Manajemen pada tahun 2025 dan menawarkan wawasan mendalam tentang implikasi cryptocurrency dalam konteks keuangan Islam.
Setiawan mencatat bahwa penggunaan cryptocurrency telah meningkat pesat dalam dekade terakhir, spesifiknya dengan jumlah pemilik cryptocurrency global mencapai 580 juta orang pada akhir 2023. Pertumbuhan ini sangat terlihat di Asia dan negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Turki, dan Nigeria. Ia menekankan bahwa meskipun cryptocurrency menawarkan potensi untuk inklusi keuangan dan kemudahan transaksi lintas batas, kepatuhannya terhadap prinsip-prinsip Islam masih menjadi sorotan.
Dalam analisisnya, Setiawan menggunakan pendekatan Maqashid Syariah untuk mengevaluasi legalitas cryptocurrency dalam sistem keuangan Islam. Maqashid Syariah, yang berfokus pada perlindungan nilai-nilai fundamental seperti agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, menjadi kerangka utama dalam menilai apakah cryptocurrency sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Setiawan merujuk pada pandangan berbagai ahli untuk memperkaya analisisnya.
Misalnya, Dusuki dan Abdullah (2007) menekankan pentingnya inovasi keuangan yang sejalan dengan tujuan syariah. Sebaliknya, Ahmed dan Ansari (2021) mengkritik cryptocurrency seperti Bitcoin karena sifatnya yang spekulatif, yang dapat melanggar prinsip riba dan gharar.
Setiawan menyoroti enam prinsip utama yang harus dipenuhi agar cryptocurrency dapat dianggap halal. Pertama, cryptocurrency harus mendukung kegiatan ekonomi syariah dengan mendorong transaksi yang adil dan transparan. Kedua, harus memberikan manfaat sosial, seperti memungkinkan donasi untuk tujuan kebaikan. Ketiga, pentingnya meningkatkan kesadaran pengguna untuk mencegah spekulasi berlebihan yang dapat mengarah pada kerugian. Keempat, perlindungan kekayaan melalui kepatuhan terhadap regulasi yang ketat harus diutamakan. Kelima, cryptocurrency harus dirancang untuk memberikan manfaat jangka panjang bagi generasi mendatang. Terakhir, menjaga kepercayaan masyarakat terhadap teknologi ini adalah elemen yang tidak dapat diabaikan.
Setiawan menegaskan bahwa meskipun cryptocurrency memiliki beberapa karakteristik yang mirip dengan mata uang tradisional, sifat volatilitas tinggi dan potensi spekulatifnya memerlukan penelitian lebih lanjut. Ia juga menyerukan pentingnya dialog yang melibatkan para sarjana, regulator, dan praktisi untuk membahas kompleksitas integrasi cryptocurrency dalam sistem keuangan Islam. Pendekatan yang inklusif ini diharapkan dapat menghasilkan solusi yang tidak hanya inovatif tetapi juga tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah.
Melalui analisisnya, Hendra Setiawan memberikan kontribusi penting dalam diskusi mengenai legalitas cryptocurrency dalam ekonomi Islam. Artikel ini tidak hanya menawarkan perspektif baru, tetapi juga menjadi panduan bagi pengembangan kebijakan terkait penggunaan cryptocurrency di masa depan, khususnya dalam masyarakat Muslim. Pendekatan Maqashid Syariah yang diterapkan dapat menjadi landasan untuk mengevaluasi dan mengembangkan cryptocurrency agar sesuai dengan nilai-nilai Islam, sekaligus memanfaatkan potensi teknologi ini untuk kebaikan yang lebih luas.
Jurnal lengkap dapat diunduh melalui tautan berikut ANALYSIS OF CRYPTOCURRENCY AS A NEW CURRENCY WITH THE MAQASHID SHARIA APPROACH.